PUISI 2,7 SEBUAH PERKENALAN: TANTANGAN ESTETIK BAHASA DAN MAKNA DI DUNIA PUISI. I. PENGANTAR “Dunia yang dibangun oleh imajinasi dari pengalaman dan gagasan yang tak terhitung jumlahnya jauh lebih indah daripada dunia yang dapat di indera” (Helen Keller) “Puisi” sebagai rainkarnasi bahasa hati, pikiran (samsara bahasa/kelahiran kembali bahasa) dari masing-masing pribadi/individu pengkaryacipta yang dituangkan ke dalam bentuk bahasa tulis pun lisan yang pada akhirnya menciptakan letupan-letupan imajinatip di alam imajinasi pengkarya cipta itu sendiri maupun penikmat baca/apresiator puisi. Di mana muatan emosi “puisi” sangat beragam, ada suka ada duka, ada kegembiraan ada kemarahan. Puisi sebagai permainan bahasa, mentranslate rasa/gejolak jiwa, melalui selubung simbol-simbol, atau tanda-tanda yang terangkum pada larik/baris/bait dalam menyampaikan pesan gejolak rasa jiwa dari penulis/penyair, yang merupakan hasil dari saripati sunyi (baca: perenungan!). Kenapa saya lebih senang menyebut “puisi” sebagai reinkarnasi bahasa atau samsara bahasa? Samsara sebagai kata sifat mempunyai arti sengsara (berdasarkan kamus bahasa Indonesia), samsara berdasarkan yang termaktub pada surat Bagavad-gita (Budha) dan Weda (Hindu) samsara berarti kelahiran kembali/reinkarnasi, namun dalam kelahiran kembali pun (samsara ) , yang merupakan perpindahan jiwa dari satu tubuh ke tubuh yang lain atau disebut reinkarnasi eksternal (samsara atau samsriti di dalam bahasa sansekerta). Srimad Bhagavatam (Bhagavata Purana) 5.11.5-7 menyebutkan bahwa pikiran terikat oleh indera kesenangan, saleh atau tidak saleh. Kemudian hal itu tertuju pada tiga model dari alam material dan menyebabkan penyesuaian kelahiran dalam berbagai tipe tubuh, lebih tinggi atau lebih rendah. Oleh karena itu, jiwa menderita ketidakbahagiaan atau menikmati kebahagiaan karena pikiran,kemudian pikiran di bawah pengaruh ilusi menciptakan aktivitas-aktivitas yang saleh dan aktivitas-aktivitas yang tidak saleh, (berdasarkan ajaran agama Budha) dan pengertian akan samsara ini juga tidak jauh beda dengan apa yang ada pada ajaran agama Hindu; di dalam Weda disebutkan bahwa "Penjelmaan jiwatman yang berulang-ulang di dunia ini atau di dunia yang lebih tinggi disebut Samsara. Kelahiran yang berulang-ulang ini membawa akibat suka dan duka. Dan juga akan dipengaruhi akan adanya karma baik dan buruk disaat-saat sebelumnya. Dari sudut pandang saya selaku orang Islam, yaitu kelahiran kembali dari kematian di akhirat kelak,dengan segala pertimbangan baik buruknya semasa kehidupan di dunia. Begitu hal dalam setiap proses penciptaan puisi, dalam kesunyiannya pasti akan terjadi suatu pertarungan batin dan atau pertarungan pikir pada diri pengkarya cipta (pertarungan sinergi positip dan sinergis negatip). Puisi sebagai reinkarnasi bahasa/samsara bahasa, pada kelahirannya kembali, tidak terlepas dari proses/ritus suasana baik buruk yang mempengaruhi rasa imajinatip pengkarya ciptanya. Dalam pengertian, melalui puisi penyair berusaha menghidupkan imaji tersembunyi ke dalam tubuh “bahasa”. Tubuh bahasa dari bayangan diri, baik bayangan diri penyairnya maupun bayangan diri penikmat bacanya yang sudah menyatu pada bayangan puisi itu sendiri!, maka jadilah bayangan diantara bayangan; diri membayang pada puisi, puisi membayang pada diri. Dan puisi yang baik, adalah puisi yang ditulis dengan penuh ketulusan, serta tetap mengacu pada estetika moral, sehingga nantinya bisa memberi pencerahan positip dan atau bisa menciptakan pola pikir baru yang baik bagi pencipta maupun apresiator yang membacanya. Sebagai mahkluk sosial, disadari atau tidak kita pasti ingin mengaktualisasikan diri atas segala hal yang dialami, kepermukaan, baik itu secara ungkap langsung lisan pun tulis. Dari sana hal yang melatar belakangi tercetusnya penulisan puisi 2 baris, 7 kata, yang dalam pikiran saya waktu itu adalah bagaimana cara mengungkapan gejolak perasaan pada sebuah puisi dengan tidak banyak kata namun bisa mengaktualisasikan dengan citraan yang kuat dan bisa meruang di imaji rasa pikir saya selaku penulis sekaligus sebagai penghayat, juga kepada penikmat baca selaku penghayat. Dari pemikiran tersebut saya lantas berfikir bahwa dengan pilihan kata (diksi) yang tepat serta patut dalam membentur tautkan dalam suatu ikatan baris kata, saya rasa cukup ideal 7 kata yang di bagi dalam 2 baris (Baris pertama mesti menampilkan dirinya sebagai gambaran idea tema. Baris dua mesti menampilkan dirinya sebagai letupan emosi/keadaan dan reaksi psikologis dan fisiologis) untuk menceritakan keberadaan dirinya di imaji rasa pikir penghayat. Intinya, puisi yang muncul dalam persepsi kebutuhan saya pada saat itu lebih menitik beratkan pada kepadatan kata (7 kata), namun disampaikan dengan bebas tidak terikat patron tertentu (selain dari 7 kata dalam 2 baris), di mana baris pertama sebagai gambaran idea tema, dan baris dua sebagai letupan emosi/keadaan dan reaksi psikologis dan fisiologis (seperti kegembiraan, kesedihan, keharuan, kecintaan) dari citraan idea tema (KBBI: (Sas) cara membentuk citra mental pribadi atau gambaran sesuatu; kesan atau gambaran visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frasa, atau kalimat, dan merupakan unsur dasar yang khas dalam karya prosa dan puisi), namun dalam kepadatan kata tersebut tetap membebaskan pengkarya cipta dalam menuangkan imaji rasa tanpa dibatasi rima dan jumlah kosa kata dalam satu kesatuan kalimat pada baris, kecuali jumlah 7 kata/kalimat yang terbagi dalam 2 baris. Dan saya memilih pakai 2 baris untuk mengoptimalkan volume 7 kata, diharapkan dengan 2 baris yang ada, dimana masing-masing barisnya telah diberikan peran masng-masing, hal tersebut diharapkan bisa kian memberi ruang puisi untuk bercerita banyak melebihi dari kapasitas teksnya sendiri yang hanya terdiri dari 7 kata. Prasyarat puisi 2, 7 secara struktur fisik kata yang berdiri sendiri (tidak dalam satu rekatan dan yang memang sengaja direkatkan dengan suatu alasan tertentu (licentia puitika) hendaknya tetap jangan mengabaikan perihal tata bahasa (gramatika). Saya menyadari bisa jadi puisi 2 baris 7 kata ini sebenarnya bukan hal baru, dalam pengertian saat buat puisi pendek tanpa sadar pasti ada saja yang 2 baris 7 kata (hanya saja sekarang saya tentukan desainya/tentukan polanya, terutama selain 2 baris 7 kata, mesti baris pertama menggambarkan citraan awal, dan baris 2 menggambarkan citraan akhir yang keduanya saling menopang baris satu sama baris lainnya), tapi kalau pola tuang 4444 saya jamin dulunya belum sekali pun ada tertulis yang murni 4 huruf dalam 4 kalimat dalam 4 baris dalam 4 bait utuh puisi rima (sebatas ketidak tahuan saya lho), namun saya berfikir dengan pola yang tidak banyak memerlukan kata ini, namun bisa mentranslatekan gejolak rasa jiwa penulisnya akan menjadi rangsangan tersendiri untuk suka menulis puisi (terutama bagi mereka yang tadinya tidak suka puisi, minimal akan sudi untuk sekedar membacanya). Lalu apa dan bagaimana yang menjadi tolok ukur suatu puisi dikatakan sesuai pola tuang 2 baris 7 kata yang saya maksudkan (desainkan)? 1. Tentunya puisi tersebut mesti tersaji dalam pola tuang 2 baris, 7 kata. 2. Wajib ada judul. sebab hal tersebut berkenaan dengan padatnya kata yang bisa diolah menjadi suatu kekuatan utuh karya dalam menyampaikan pesan pada penikmat baca tanpa meniggalkan kesan keindahan bahasa puisi itu sendiri. Judul yang baik (baca: kuat) sekaligus merupakan pintu masuk untuk pembaca bisa memahami dan menikmati letupan pesan yang ingin dihantarkan pencipta karya ke imaji rasa penghayat. 3. Baris pertama harus/mesti menampilkan dirinya sebagai gambaran idea tema (semacam latar pembuka) yang menciptakan gambaran pokok kejadian, karena baris pertama ini yang akan menjadi pemandu luncur ke baris dua sebagai baris penegas/baris penutup yang bermuatan kristalisasi renung (kontempelasi) 4. Baris dua harus/mesti menampilkan dirinya sebagai letupan emosi/keadaan dan reaksi psikologis dan fisiologis (seperti kegembiraan, kesedihan, keharuan, kecintaan) dari citraan idea tema ((Sas) cara membentuk citra mental pribadi atau gambaran sesuatu; kesan atau gambaran visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frasa, atau kalimat, dan merupakan unsur dasar yang khas dalam karya prosa dan puisi), yang menompang dari apa yang telah dicitrakan pada baris pertama (semacam "emosi yg meletup/diletupkan" dalam pilihan diksi yg tepat sehingga diharapkan meninggalkan kesan yg telah coba diantar oleh baris 1). Dan sebagai alur akhir/penutup, baris 2 ini bisa berupa opini kekinian, bisa berupa kesimpulan akhir dari kejadian, bisa berupa renungan ect, yang penting upayakan bisa meninggalkan kesan pada pembaca! . 5. Antara baris 1 dan baris 2 harus/mesti ada ketertautan alur antar barisnya, hal ini sangat-sangat perlu agar bisa memandu dengan baik penghayat/penikmat baca masuk kedalam keseluruhan batang tubuh puisi yang teramat padat dengan pola 2 baris, 7 kata ini (walau dalam kasus alur lompat pun tetap harus ada relevansi benang merahnya dalam satu kesatuan pesan utuh yang ingin disiratkan ke pembaca. Dan puisi 2,7 dalam satu bait mesti berdiri sendiri dalam satu citraan utuh tubuh puisi (Judul dan 2 baris 7 kata disertai penanda akhir : bisa nama penulis, nama pena, thn, atau bisa lengkap). Pernah terlintas dipikiran saya : “lalu bagaimana kalau yang terpenuhi hanya fisik puisi saja, dalam pengertian yang terpenuhi hanya 2 baris, 7 kata-nya saja? Apa masih bisa disebut sebagai puisi pola tuang 2,7?” Jika nilai ukurnya adalah baris dan kata, maka hal tersebut telah memenuhi syarat untuk dimasukkan dalam puisi 2,7, namun untuk disebut sebagai puisi 2,7 yang memenuhi semua syarat: baik jumlah baris, kata, serta kekuatan estetik bahasa dan estetik makna yang merupakan prasyarat wajib untuk suatu karya 2,7 layak disebut puisi atau disebut slogan, jingle iklan, pernyataan. Untuk itu tentunya perlu juga diperhatikan prasyarat lain yang menyerta pada desain pola tuang 2,7 ini (Seperti diterangjelaskan tulisan di atas). Jadi tidaklah salah jika akan muncul pertanyaan seperti ini: Puisi 2 Baris, 7 kata tak ubahnya seperti jinggel iklan, slogan, pernyataan biasa, benarkah? Karena tingkat kepadatan kata yang dituang dalam 2 baris, 7 kata, hal ini sangat memungkinkan untuk merangsang pencinta karya puisi, menulis dan terus menulis dengan pola tuang ini, sehingga tanpa disadari, karena adanya dorongan menulis yang demikian cepat dan kuatnya, estetik puitika dan estetik makna jadi terlupakan (kalau tidak boleh dikata terabaikan) sehingga apa yang dituangkan serasa mengalir sebagai bentuk pernyataan/slogan saja. Jadi tidaklah salah jikalau ada yang mengatakan puisi 2 baris, 7 kata tidak lebih dari "Slogan, Jinggel iklan, atau pernyataan biasa". Tapi hal tersebut tidak berlaku pada puisi 2 baris, 7 kata yang memenuhi prasarat baik secara estetika bahasa pun estetika makna sebagai bentuk konkret untuk disebut sebagai "PUISI", sebab puisi tidak hanya sekedar rangkai kata, namun mesti menyiratkan letupan makna yang bisa sampai hayat manfaatnya. Maka dari itu dalam bercipta karya puisi peran EQC (Emotion Quality Control) sangat diperlukan untuk hasil karya puisi 2, 7 yang optimal. Dalam bukunya "Kritik Seni" halaman 8 - 9, Dharsono/Sony Kartika mengutip apa yang dikatakan oleh DeWitt H. Parker, pembatasan tentang seni dan mengganggapnya sebagai ekspresi suatu ungkapan. Ungkapan dapat dilukiskan sebagai pernyataan suatu maksud perasaan atau pikiran dengan suatu medium indera atau lensa, yang dapat dialami lagi oleh yang mengungkapkan dan ditujukan atau dikomunikasikan kepada orang lain. Dalam arti seperti itu maka suatu sajak (puisi) merupakan suatu ungkapan sekelumit pengalaman yang dilahirkan lewat kata-kata. Tujuan ungkapan seni dibuat dan dinilai untuk dirinya sendiri, untuk keperluan lain, dan kita sebenarnya selalu akrab dengannya, dan kita sengaja membuatnya serta merenunginya. Coba bandingkan antara sajak/puisi cinta dengan pernyataan/slogan cinta. Sajak yang dinilai akan mengalami emosi berirama yang ditimbulkan pada penulis sekaligus pembacanya. Sedang pernyataan/slogan, sekalipun dinikmati oleh yang menyatakan, namun nilai utama terletak pada akibat yang ditimbulkan, makin cepat persaratan itu selesai semakin baik. Sajak/puisi tujuannya pada diri sendiri, dapat diulang-ulang; nanti esok kapan saja, sedang pernyataan/slogan yang pada pokoknya merupakan alat untuk mencapai tujuan bukan untuk dirinya sendiri, sehingga tidak ada artinya lagi untuk diulang setelah tujuan itu tercapai atau gagal. Sajak/puisi bukan sekedar alat tetapi ungkapan seni yang tetap bernilai, walau tujuan itu tercapai atau gagal. (Parker, 1946: 14) II. TANYA-JAWAB SEPUTAR KONSEP PUISI 2,7 Keberhasilan seorang penyair bukan dilihat berapa banyak puisi yang dia hasilkan, tapi seberapa kuat karya puisi tadi behasil memberikan getaran positip dan atau ianya, puisi tadi bisa mempengaruhi kebaharuan pikir penikmat baca ke arah yang lebih baik. Jadi beratus bahkan beribu puisi tidak menjamin lebih berarti dari satu puisi yang berhasil memotivasi penikmat baca/pengahayat dalam kebaharuan laku pikir di kehidupan nyata. (lifespirit Juli 2011) Tujuan utama seseorang menulis puisi adalah untuk sarana pelepasan batin. Dan media tuang dalam bentuk puisi beraneka ragam pola tuang: terikat rima, bebas, mbeling, bahkan yang dibatasi oleh volume baris dan kata, semisal puisi 2, 7 yang saya perkenalkan ini, ect. Namun tujuan semua itu pada muaranya adalah sama, yakni pada pelepasan batin (dalam tanda kutip). Pada puisi 2 larik 7 kata (selanjutnya baca Puisi 2, 7), mungkin untuk memenuhi unsur estetik puitik pada karya puisi ini tidaklah sulit dipenuhi dalam patokan 7 kata, namun bukan sesuatu hal yang mudah untuk memberikan muatan makna/kontempelasi pada keindahan bahasa puisi dalam keterbatasan volume kata tadi. Untuk itulah pada puisi 2, 7 bukan perihal patokan tujuh kata dua barisnya saja yang menjadi dasar tumpuan saya berkreasi, namun bagaimana agar pencinta/penyuka puisi ini nantinya bisa secara kontinyu dan terstruktur dengan mudah dan leluasa menuangkan idea/gagasan/tema besar jika ingin menulisnya dengan design puisi 2, 7. Semenjak saya perkenalkan ke public di akhir tahun 2012, banyak kegelisahan tanya akan puisi 2, 7 yang secara struktur fisik puisi hanya terdiri dari 2 baris dengan jumlah/volume kata yang hanya dipatok 7 kata, seperti yang saya rangkum di bawah ini: Tanya: saya ingin bertanya mengenai asal mula puisi 2,7. kenapa harus 2 baris dan 7 kata yang dipilih? Atau intinya mengapa mematok pada 7 kata? Kenapa tidak 3 kata, 8 kata, 9 kata ect? Juga kenapa tidak satu baris atau 3 baris saja untuk memecah volume kata tadi? Adakah yang menjadikan pertimbangan kusus mengenai hal tersebut? Semenjak pertama kali puisi 2, 7 dikenalkan pada akhir Desember 2012 lalu, pertanyaan seperti ini sering saya terima Salah satu unsur kekuatan dari puisi 2, 7 (kalau tidak bisa disebut sebagai kekhasan), adalah bagaimana dengan keterbatasan tujuh kata mampu merefleksikan rasa, pikiran yang ada dalam diri pengkarya cipta puisi, dan juga mampu mendeskripsikan tema besar (baik secara tersurat maupun secara tersirat perlambangan) ke dalam bentuk puisi dengan sangat baik. Karena adanya beban yang dibawa itulah maka saya berfikir sangat perlu adanya pemetaan dan atau pembagian baris yang bisa menampung dan kemudian mentraslate rasa, pikiran penulis sesuai fungsi peran masing-masing baris tadi dalam menyampaikan signal-signal puitik (baik secara struktur semantik maupun secara semiotik) pada penghayat tanpa memerlukan banyak kata. Dan 2 baris menurut pemikiran saya adalah bentuk pemetaan kata/bahasa yang sangat ideal, dimana baris 1 (satu) sebagai baris yang memaparkan atau menggambarkan dengan kata-kata (baik langsung atau kias) secara jelas dan terstruktur, bisa juga dikata baris 1 (satu) ini lebih menonjolkan citraan latar suasana dan atau citraan yang bisa memandu dan atau bisa memberi gambaran di imaji penghayat akan apa yang tengah terjadi dan atau apa yang melatari sebuah kejadian (konflik peran awal) yang akan diletupkan di baris 2 sebagai citraan yang sarat letupan emosi (bisa berupa sebuah renungan, bisa berupa pemikiran kekinian, bisa juga berupa kesimpulan dari inti tema yang diangkat, ect), untuk itu saya berfikir idealnya baris 1 ini volume katanya lebih banyak dari baris 2 yang merupakan baris ledakan (idealnya baris satu cukup 4 kata/diksi dengan rekatan kuat sudah cukup memberi citraan latar suasana yang meruang). Agar rasa, pikiran pengkarya cipta dapat terefleksikan dengan baik (tegas, terarah, serta memberi daya hisap kontemplasi/pengayaan tafsir yang memberikan nilai kebaharuan pikir yang baik), di sini fungsi peran baris 2 (dua) sangat teramat penting sebagai baris eksekutor atas citraan latar suasana yang telah dibangun pada baris 1 (satu). Dan menurut hemat saya dengan 3 (tiga) kata saja di baris dua sudah sangat ideal untuk membuat ledakan imaji dan member daya hisap di rasa imaji pikir penghayat. Dengan 3 kata, hantaran pesan dalam kalimat akan lebih tegas dan berruh dalam memberikan ruang kontemplasi. Dalam pengertian baris kalimat akan lebih kental atau mengkristal dengan muatan yang dibawa 3 kalimat puncak tadi. Dari pemikiran tersebut di atas, saya rasa sangat ideal 7 (tujuh) kata dipetakan dalam 2 (baris), dengan fungsi peran masing baris-baris diatur sedemikian rupa secara baik, benar dan tepat sebagai suatu alat dan atau sarana penulis dalam merefleksikan rasa, pikiran yang bergejolak dalam jiwa. Tanya: Puisi 2,7 didasari dari bentuk pola tuang puisi mana, karena dari kepadatannya kan serupa haiku, jumlah barisnya serupa pantun, gurindam ect? Saat proses awal tercetusnya 2 baris 7 kata ini, jujur tidak terpikirkan tentang haiku, pantun, gurindam, sonata, syair atau yang lainnya, walau selama saya mencipta karya semua bentuk pola tuang (terikat, bebas, sampai yang bernuansa prosa liris pun surealis bahkan yang kental nuansa tuang china klasik) saya coba baca dan pelajari. Tapi sekali lagi saat pola 2, 7 itu terlintas dipikiran saya, ya yang waktu itu berkecamuk di pikiran saya bagaimana dengan keterbatasan tujuh kata mampu merefleksikan rasa, pikiran yang ada dalam diri pengkarya cipta puisi, dan juga mampu mendeskripsikan tema besar (baik secara tersurat maupun secara tersirat perlambangan) ke dalam bentuk puisi dengan sangat baik. Jadi proses pysicologis lahirnya puisi 2, 7 ini tidak didasari dari bentuk pola tuang puisi manapun, tapi pada kelahirannya muncul mengalir begitu saja yang lalu saya matangkan. Beda dengan pola 4444 yang memang terlahir didasari dari karya syair, pantun, dan puisi rima angkatan pujangga lama dan baru. Karena pada puisi 2, 7 ini lebih menitik beratkan pada bagaimana dengan keterbatasan tujuh kata mampu merefleksikan rasa, pikiran yang ada dalam diri pengkarya cipta puisi, dan juga mampu mendeskripsikan tema besar (baik secara tersurat maupun secara perlambangan) ke dalam bentuk puisi dengan sangat baik. Tanya: Apakah tidak lebih baik disampaikan bahwa Puisi 2,7 terinspirasi bentuk pusi/sajak sebelumnya yang sudah terlebih dulu ada, semisal Haiku, Sajak 2 seuntai, Gurindam ect? Kalau boleh jujur, bagaimana saya akan menyebutkan bahwa puisi 2, 7 ini ada kaitannya atau terinspirasi struktur tuangnya dengan Haiku, Sajak 2 seuntai, Gurindam ect, sedang hal tersebut dari awal perjalanan proses penciptaan puisi 2, 7 tidak terlintas sama sekali dipikiran saya? Karena proses kelahirannya mengalir dari rasa tanya pikir saya tentang bagaimana ya bisa membuat karya puisi yang memuisi hanya dengan 7 kata? Tanya: Banyak yang berpendapat kalau Puisi 2, 7 sama persis dengan Fiksimini, iakah seperti itu? Kemungkinan kemiripan itu selalu ada, bahkan tidak hanya dengan Fiksi Mini saja, mungkin bisa jadi dengan karya tulis lainnya, selama penuangan akan karya masih menggunakan sarana komunikasi yang bernama “Bahasa”. Namun jika ditinjau secara seksama, Puisi 2, 7 sangat berbeda sama sekali dengan Fiksi Mini (Kalau tidak boleh dikatakan Puisi 2, 7 Tidak sama alias berbeda dengan Fiksi Mini), sebab : 1. Fiksi Mini berakar dari Prosa, sedangkan Puisi 2, 7 berakar dari Puisi 2. Fiksi mini lebih kuat dalam membentuk citraan latar suasananya dalam upayanya menyampaikan gagasan secara naratip, sedangkan puisi 2, 7 lebih kental pada permainan bahasa perlambangan dalam upayanya menyiasati keterbatasan volume kata. >>> Pada puisi 2, 7 , batang tubuh puisi dibagi dua baris, dimana baris 1 (satu) sebagai baris yang lebih menonjolkan citraan latar suasana dan atau citraan yang bisa memandu dan atau bisa memberi gambaran di imaji penghayat akan apa yang tengah terjadi dan atau apa yang melatari sebuah kejadian (konflik peran awal) yang akan diletupkan di baris 2 sebagai citraan yang sarat letupan emosi, lebih menitik beratkan pada isi/makna yang bisa menciptakan daya renung/kontemplasi. 3. Fiksi Mini tidak dibatasi pada 7 kata, tapi puisi 2, 7 wajb 7 kata dan di petakan dalam 2 baris, sedangkan fiksi mini boleh satu baris, dua baris atau lebih. 4. Fiksi mini cenderung lancar dalam sampaian bahasanya (dalam arti lebih menekankan pada citraan latar kejadian/suasana dalam mendapatkan letupan di imaji pikir penikmat baca), sedangkan puisi 2, 7 dalam pembagian barisnya telah dibagi ruang perlakuan antara baris 1 dan 2, dan lebih menekankan pada pendekatan estetik makna selain estetik bahasa puisinya. 5. Penokohan, alur naratif/ rangkaian cerita/adanya plot cerita, ect yang terkait dengan unsur-unsur yang ada pada cerpen adalah cirri khas Pada Fiksi Mini yang penuangannya lebih pendek dari cerpen, sedangkan pada puisi 2, 7 hal tersebut tidak mutlak harus (lebih mengacu pada mazhab yang melekat pada karya puisi) Tanya : Lalu apakah nama yang diberikan untuk puisi jenis ini? Cukupkah dengan menyebut 2,7? Pada saat itu (Baca proses kelahiran puisi ini) saya tidak berfikir masalah namanya nanti apa, tapi yang menjadi pemikiran saya paling utama adalah bagaimana dengan keterbatasan volume kata yang ekstrim bisa menghasilkan puisi yang memuisi. Kalau pada akhirnya puisi pola ini diberi nama Puisi 2, 7 (P 2, 7) semata karena yang menjadi ciri khas puisi ini adalah karakter struktur fisiknya yang tersaji dalam 2 baris 7 kata dengan dibubuhi judul serta penanda akhir (bisa nama, titimangsa, atau ditulis lengkap). Tanya: Apakah filosofi 2 dan 7? Sebelum saya menjawab pertanyaan tersebut, saya akan bercerita apa dan bagaimana yang berkecamuk pada pikiran dan perasaan saya pada waktu itu sebelum memutuskan 2 baris 7 kata. Suatu malam saat saya duduk di ruang tamu (saat anak-anak sudah tidur), dan seperti biasa ditemani secangkir kopi dan rokok, tiba-tiba terbersit tanya dipikiran saya, bagaimana ya membuat puisi yang indah dan tidak kehilangan pesan kebaikannya dengan jumlah kata yang sangat terbatas? Entah bagaimana pikiran saya waktu itu tiba-tiba terbawa pada tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi (mungkin ini yang dinamakan alam bawah sadar kali ya, karena hal ini tidak ada relevansinya sama sekali dengan perihal struktur bangun sebuah puisi), namun dari sana saya lalu berfikir, bisa tidak ya dengan 7 kata bisa menghasilkan puisi yang indah baik secara bahasa puisi maupun secara kandungan makna? Terus bagaimana biar puisi ini bisa bercerita banyak pada pembaca, arah dan maksud yang di tuju hanya dengan tujuh kata saja? Dan bagaimana puisi ini nantinya bisa memberi citraan visualisasi naratipnya dan juga lesatan pesan kebaikannya ke penghayat? Nah dari sana pikiran saya kembali lagi ke “tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi”, namun lebih mengerucut pada “langit” dan “bumi”. Dan pemikiran ini membawa saya pada dua sifat yang berlawanan (memunculkan suatu pemikiran sebab akibat, bahasa kerenya “Kausalitas”): bahwa ada langit karena ada bumi, ada bapak karena ada ibu, ada laki karena ada wanita, ada positip karena ada negatip, disebut terang karena ada gelap, disebut baik karena ada buruk, ada benar karena ada salah, ada hujan karena ada kemarau, disebut bagus karena ada jelek, ect. Dari pergolakan rasa pikiran inilah terbersit pikiran saya bahwa dengan tujuh kata akan didapat hasil yang optimal jika saya petakan menjadi 2 bagian (baca: 2 baris), yang mana baris pertama saya pakai untuk mendeskripsikan citraan latar suasana, sedang baris dua sebagai sebagai letupan emosi/keadaan dan reaksi psikologis dan fisiologis) untuk menceritakan keberadaan dirinya di imaji rasa pikir penghayat. Dengan pemetaan seperti itu saya harapkan tidak saja saya secara pribadi akan lebih mudah dalam mengoptimalkan 7 kata untuk dasar membuat puisi, namun harapan saya pemetaan baris yang seperti saya terangjelaskan di atas bisa menjadi guide/pemandu bagi pencipta puisi lainnya yang ingin menyampaikan tema besar ke dalam puisi hanya dengan 7 kata sahaja tanpa kehilangan estetik puitik dan estetik makna yang menjadi cirri khas puisi ini nantinya. Tanya: Berarti nama Puisi 2, 7 itu selain menunjukan formatnya yang secara struktur fisik karya harus ada judul, disajikan dalam 2 baris, serta hanya terdiri dari 7 kata dan disertai penanda akhir puisi, jika sesuai dengan hal itu, baru suatu karya puisi bisa disebut sebagai Puisi 2, 7, begitu ya? Benar. Selain sesuai dengan apa yang diterangjelaskan di atas, puisi 2, 7 hanya disajikan dalam satu bait puisi putus. Dalam arti, jika diurai dalam beberapa bait tapi hanya dengan satu penanda akhir, maka puisi tadi bukan puisi 2, 7. Hanya penyajian baris dan jumlah katanya saja yang merupakan turunan puisi 2, 7. Tanya: bagaimana kalau yang terpenuhi hanya fisik puisi saja, dalam pengertian yang terpenuhi hanya 2 baris, 7 kata-nya saja? Apa masih bisa disebut sebagai puisi pola tuang 2,7 (baca: 2 baris, 7 kata)?” Jika nilai ukurnya adalah baris dan kata, maka hal tersebut telah memenuhi syarat untuk dimasukkan dalam puisi 2,7 (Selanjutnya baca: 2 baris, 7 kata), namun untuk disebut sebagai puisi 2,7 yang memenuhi semua syarat : baik jumlah baris, kata, serta kekuatan estetik bahasa dan estetik makna yang merupakan prasyarat wajib untuk layak disebut puisi atau disebut slogan/pernyataan, tentunya perlu juga diperhatikan prasyarat lain yang menyerta pada desain pola tuang 2,7 ini. Tanya: puisi adalah kebebasan menuangkan gejolak rasa dan atau kegelisahan jiwa yang ingin diletupkan kepermukaan melalui medium bahasa tulis, dengan pembatasan jumlah kata dan atau jumlah baris pada puisi 2, 7 apakah namanya itu bukan mengebiri kebebasan menulis puisi? “Puisi” sebagai reinkarnasi bahasa hati, pikiran dari masing-masing pribadi/individu pengkarya cipta yang dituangkan ke dalam bentuk bahasa tulis pun lisan yang pada akhirnya menciptakan letupan-letupan imajinatip di alam imajinasi pengkarya cipta itu sendiri maupun penikmat baca/apresiator puisi. Puisi sebagai permainan bahasa, mentranslate rasa/gejolak jiwa, melalui selubung simbol-simbol, atau tanda-tanda yang terangkum pada larik/baris/bait. Nah untuk menuangkanya dalam bentuk puisi panjang atau pendek (baca: puisi 2, 7), bebas atau terikat, itu semua kembali kepada rasa nyaman atau tidaknya kreator dalam menuangkan idea gagasan ke dalam yang namanya puisi. Perlu digaris bawahi, entah itu puisi panjang atau puisi 2, 7, yang menjadi saluran utama penyampai pesan ke penghayat adalah rangkaian kalimat yang mampu menghantarkan maksud/pesan/makna yang tersurat pun tersirat puisi pada rasa imaji pikir penghayat. Sedangkan yang namanya mengebiri bahasa (baca: memangkas/membuat mandul kebebasan menulis puisi) itu jika suatu kalimat atau bahasa tidak bisa menghantarkan idea/gagasan kreator tersebab ada kalimat/bahasa yang dipangkas, sehingga rangkaian kalimat tadi menjadi tidak mempunyai makna dan atau tidak bisa memberi kebaharuan pikir pada penikmat baca/penghayat ( mandul makna). Sedangkan puisi 2, 7 ini tidak memangkas, atau menghilangkan atau mengeluarkan kata dari maknanya, namun disini kreator dituntut untuk memilah secara tepat dan patut dari diksi yang akan digunakannya. Puisi 2, 7 adalah bagaimana mengoptimalkan kata (7 kata) yang ada menjadi suatu rangkaian kata yang memenuhi criteria puisi dalam fungsinya menghidupkan imaji tersembunyi ke dalam tubuh “bahasa”. Dan puisi yang baik, adalah puisi yang ditulis dengan penuh ketulusan, serta tetap mengacu pada estetika moral, sehingga nantinya bisa memberi pencerahan positip dan atau bisa menciptakan pola pikir baru yang baik bagi pencipta maupun apresiator yang membacanya. Tanya: Puisi dua koma tujuh tak lebih dari puisi-puisi haiku yang mana dalam proses penciptaannya kebanyakan kreator tanpa perenungan-perenungan mendalam terlebih dahulu, apakah hal ini dikarenakan puisi 2, 7 ini mengadopsi pola dari HAIKU, bagaimana pendapat anda akan hal ini? Perihal penciptaan suatu karya oleh kreator/penyair tanpa melalui perenungan-perenungan mendalam terlebih dahulu, saya rasa itu kurang tepat (tidak hanya berlaku pada puisi 2, 7 saja, namun berlaku juga untuk semua kekaryaan sastra tulis puisi), sebab setiap kreator/penyair menuangkan idea/gagasan atau sesuatu hal yang ditangkap, lalu dituangkan dalam bentuk tulisan pada proses penciptaannya itu sendiri sudah merupakan bagian dari proses perenungan, hanya saja seberapa dalam tingkat perenungannya berpulang kembali pada kekuatan/daya renung masing-masing kreator, serta tergantung juga pada seberapa efektif cara kreator/penyair dalam mentranslate/menterjemahkan gejolak rasa pikirnya ke dalam bahasa puisi yang dia pilih agar bisa ditangkap pembaca dan berhasil dalam mempengaruhi kebaharuan pikirnya, yang pastinya antara kreator yang satu dan yang lainnya berbeda beda tingkat daya permenungan dan gaya menyampaikannya ke bentuk bahasa tulis puisi. Mengenai puisi 2, 7 ini mengadopsi HAIKU atau tidak, sekali lagi saya tegaskan bahwa puisi 2, 7 tidak mengadopsi bentuk tuang puisi manapun termasuk HAIKU. Dari segala hal sudah jelas puisi 2, 7 tidak sama (kalau tidak boleh dikatakan berbeda sama sekali dengan HAIKU). Dari struktur fisik saja sudah sangat jauh berbeda, pada HAIKU selain unsur citraan musim (kigo) sangat kuat, HAIKU juga mengacu pada sistim suku kata (mora/syllabel), 17 suku kata atau 5-7-5 (go-shichi-go), tanpa judul, karena secara keseluruhan batang tubuh HAIKU lebih pada kekuatan mendeskripsikan latar suasana yang ditangkap penulisnya. Sedangkan Puisi 2, 7 tidak mengacu pada suku kata, selain itu antar barisnya (baris 1 dan baris 2) mempunyai fungsi peran masing-masing, dalam arti tidak bertumpu pada pendeskripsian suasananya saja, namun lebih jauh lagi pada daya hisap kontemplasi yang ingin dihantarkan ke permukaan, juga mesti berjudul dan ada penanda akhir, sedangkan pada HAIKU hal ini tidaklah ada. Tanya: Bagaimana dengan bangunan utuh puisi 2,7? Apa bangunan utuh sebuah puisi? Struktur fisik puisi dan Struktur batin puisi, dan saya rasa puisi 2, 7 memenuhi kriteria tersebut. Secara struktur fisik puisi 2, 7 sangat jelas dan khas yakni terdiri dari judul + 2 larik 7 kata + penanda akhir. (ini bisa saya sebut sebagai bagian dari typografi (perwajahan puisi). Perihal diksi, sudah pasti di sini kita mesti selektif memilih agar nantinya bisa menjalankan perannya dengan optimal dalam memuat gagasan atau tema besar yang dibebankan. Dan mengenai Imaji, bagaimana penghayat yang selama ini membaca akan bisa menikmati sampai pada akhirnya mengurai pesan yang ada di puisi 2, 7 kalau susunan kalimatnya tidak mempunyai kekuatan citraan yang mampu mereka tangkap? Kata kongret? Puisi 2, 7 justru memenuhi prasarat ini. Dengan kepadatan jumlah kata yang hanya 7 kata dipetakan 2 baris, maka bahasa perlambangan dan gaya bahasa puisi teramat sangat melekat pada puisi 2, 7 yang memuisi Tema/makna , rasa, nada (tone), tujuan/pesan yang merupakan bagian dari struktur batin puisi, hal tersebut saya tegaskan sangat ada pada puisi 2, 7. Tanya: Puisi 2, 7 sangat rentan dengan kualitas, yang saya maksud banyak puisi 2, 7 yang gagal menyampaikan pesan karena telah dibatasi yang hanya 7 kata, bagaimana menurut anda? Saya rasa berkualitas tidaknya suatu karya puisi yang dihasilkan oleh kreator bergantung sepenuhnya pada bagaimana ianya mampu memilah kata yang tepat dan patut serta menaut-tautkan antara yang satu dan lainnya sebagai sarana bahasa ungkap puisi. Kalau kreatornya asal rekat tautkan kata saja hanya biar seolah-olah menjadi puitis, padahal tidak mempunyai kekuatan pesan dan makna terkandung, iya itu saya rasa yang salah bukan pola tuang puisinya, tapi ya kreatornya yang kurang sabar untuk kepencapaian akhir karya puisi yang secara estetik puitik dan estetik makna memenuhi kelayakan puisi yang memuisi. Dan mengenai pilihan bentuk/pola puisi dalam upayanya menuangkan idea/tema/gagasan, saya pikir ini hanya perihal selera saja. Sedangkan tujuannya sama, yakni pelepasan batin kreator (baca: penyair) III. PUISI-PUISI 2, 7 KARYA IMRON TOHARI (ID: lifespirit!) : 1) TANPA KEKASIH Jarum jam menghitung detak Malam serupa jahanam (lifespirit, 24 December 2012) 2) TENTANG PAYUNG (Puisi 2 baris,7 kata) Jika dukamu adalah hujan Payung itu aku (lifespirit, 24 December 2012) 3) TENTANG KEYAKINAN Beribu jalan beribu semak Dan aku merindukanmu (lifespirit, 24 December 2012) 4) KARANG Sebongkah karang membaca sepi Di lautMu tenggelam (lifespirit, 25 Desember 2012) 5) Saat Jatuh Cinta Matamu telaga Ikan yang berenang itu, aku (lifespirit, 2010) 6) DI BOLA MATAMU Oh! debur ombak Nelayan senandungkan Labu’ni essoe (lifespirit, 26 December 2012) 7) KOTA Kudapati rimbun pepohonan beton, menatapku Tanpa jantung (lifespirit, 27 Desember 2012) 8) KINANTI dik, mari pulang kupakaikan alas kembang sepatu (lifespirit, 29 Desember 2012) 9) MENYEMESTA I di padang rumput hakikat ruh menggembala domba (lifespirit, 30 Desember 2012) 10) MENYEMESTA II pada mulanya gaduh dalam ning, siapa debur? (lifespirit, 30 Desember 2012) 11) MENYEMESTA III o, engkaulah kekasih ada di dalam ketiadaan (lifespirit, 30 Desember 2012) 12) SAAT ENGKAU PETIK SATU LAGI RANUM USIA di renjis matamu doaku bersujud, bersyukur, untukmu (lifespirit, 1 Januari 2013) 13) HABIS PISAH terbelah jarak kembali bersua di matamu, tenggelam (lifespirit, 6 Januari 2013) 14) IBU Setiap kubaca air matamu Kucari isyarat alamatmu (lifespirit, 7 January 2013) 15) GAIRAH kucumbu kekasih, nafasku api! kucumbui Kekasih, teduh! (lifespirit, 24 Januari 2013) 16) RASA DAN PIKIRAN pada keadaan, rumah jiwaku namaMu muncul tenggelam (lifespirit, 7 Februari 2013) 17) PUISI 2, 7 Beribu benda berserak, memanggil Kumenyemesta dalam kata (lifespirit, 10 Februari 2013) 18) MENANGISLAH KEKASIH menangislah dalam tikaman rindu kurat di keaiban (lifespirit, 10 Februari 2013) 19) BAIT KASIH Pijar lampion dan airmata Memahamimu, pertarungan cinta (lifespirit, 16 Februari 2013) 20) SUJUD SYAIRMU :/Boedi Ismanto SA Jantungmu senandungkan bait-bait hujan Allahmu puisi abadi (lifespirit, 11 March 2013) 21) GODAAN ZAMAN Mulut membicarakan menara langit Nurani mati sendirian (lifespirit, 10 Mei 2013) 22) SEBENTUK CIUMAN Kusebut airmatamu cinta, dinda Menggenapi mekar teratai (lifespirit, May 30, 2013) 23) MENATAP GUNUNG hujan kemarau lupa muasal lentera rumah meremang, meremang (lifespirit, 4 June 2013) 24) TENTANG PELAYARAN Mengarungi samudra, membelah kabut Cahya hatiku: Kau (lifespirit 12 June 2013) 25) SEBELUM BENAR-BENAR HILANG Ingin kurasakan kepakan nafas Sayap-sayap cahaya Muhammad (lifespirit, 3 June 2013) IV. BEBERAPA APRESIASI PUISI 2, 7 DALAM PROSES SHARING BELAJAR DI GROUP PUISI 2, 7 OLEH IMRON TOHARI (ID: lifespirit!) : 1) MENYEMESTA di langit lapis sembilan ruh menari, berdendang (Zen Mehbob, 3 Januari 2013) Puisi 2,7 “MENYEMESTA” karya Zen Mehbob ini saya selaku penghayat merasakan ada aroma sufi, atau boleh saya katakan kontempelatif kerohaniannya kuat, dimana pengkarya cipta ingin menggambarkan bagaimana setelah langit 7, masih ada 3 tangga atau tingkatan lagi ( tangga 8, tangga 9, dan tangga 10 ). Dan pada tangga 9 (baca: langit 9), Muhammad (Rasullulah) masuk ke dalam Nur dan naik ke Mustawa dan Sharirul-Aqlam, dari sini Rasullullah melihat para mursyid yang bibirnya kilap basah air mata>>> “ruh menari, berdendang”. Pesan tersirat inilah yang saya tangkap ingin diletupkan di imaji rasa pikir penghayat, dan memberi daya hisap dalam penghayat berkontemplasi “ betapa mulianya di mata Rasullullah umat di dunia yang lidahnya sering basah berzikir, hatinya tertumpu penuh kepada masjid dan tidak memaki ibu bapaknya.” Pengambilan judul “MENYEMESTA” sebagai titik tumpu untuk masuk ke dalam dunia kontemplasi puisi 2 baris, 7 kata ini saya rasa tepat. Dan dari judul serta kerekatannya dengan isi puisi secara keseluruhan inilah meletupkan citraan pada imaji pikir saya selaku penikmat baca akan perjalanan Muhammad dalam peristiwa Israk dan Mikraj. aku suka, biasanya yang familiar adalah langit 7, ini mendorongnya ke langit 9, sehingga merangsang Tanya kenapa kok tidak langit 7 ya? Hehe. salam lifespirit! 2) TENGKU DAN LAUT Tengku, gemuruh laut gelombang dalam bumbung darahmu (Adri Sandra, Padang; Januari 2013) Judul "TENGKU DAN LAUT" secara tersurat berseakan tidak kita temui adanya kasualitas di sana. Memang kalau kita hanya merunut pada baris 1 saja, kasualitas tadi kurang rekat ( walau sebenarnya secara tersurat pun tersirat baris 1 telah sangat berhasil memberi citraan latar suasana/kejadian "Tengku, gemuruh laut" saya memaknainya setara " Penguasa, dan hiruk pikuk (kekinan) suatu tatanan Negara). Ok seandainya pembacaan saya keliru, namun saya rasa hubungan kasualitas tadi semakin kuat saat kita masuk pada baris 2 >>> "gelombang dalam bumbung darahmu". Dan pemilihan diksi “bumbung” dibentur tautkan dengan “darah” saya rasa suatu pilihat yang cerdas, dimana dia memilih “bumbung” jika dikaitkan dengan “Laut” saya memaknainya sebagai perian tempat nelayan menaruh ikan hasil tangkapannya/bisa juga dipakai sebagai tempat air minum nelayan saat melaut. Namun saat dibentur tautkan dengan “darah”, disini bumbung berperan sebagai “pembuluh” >> bumbung darahmu; pembuluh darahmu. Disinilah terjadinya hubungan sebab akibat (pemaknaan yang tersirat) >> dimana Tengku sebagai bahasa simbol pemegang kuasa dan laut sebagai simbol medan dengan segala hal yang menyerta di dalamnya, dimana disinilah peran "Tengku" dalam " hiruk pikuk suatu medan (bisa negara, bisa rumah tangga, ect yang setara maksud) sangat ditentukan perannya "laju" atau "tenggelam" dalam laut >>>"gelombang dalam bumbung darahmu" Untuk memunculkan aspek pysycologis dari “Tengku”, dimana Tengku ini bisa saja sebagai simbolik poetika dari penguasa, pemimpin suatu Negara, kepala rumah tangga, atau pemangku jabatan suatu golongan ect yang setara maksud, pemilihan diksi “gelombang” yang melengkapi pertautan diksi “…. Dalam bumbung darahmu” saya katakana sekali lagi ini juga merupakan suatu pilihan yang cerdas, dimana secara harafiah teks “gelombang” jika dikaitkan dengan laut adalah suatu ombak besar yg bergulung-gulung (di laut), dan jika laut kita maknai sebagai suatu medan/Negara, maka “gelombang” bergeser makna sebagai suatu kelompok; golongan (pasukan, koloni/jaringan, sekumpulan kelompok, rakyat, dsb) yg bergerak maju beruntun-runtun dan di sini peran “tengku” yang makna secara teks; tuan; penguasa, begitu ditarik benang merah dengan judul “TENGKU DAN LAUT” , rekatan diksi secara keseluruhan baris 2 ini akan menguatkan adanya kasualitas (hubungan sebab akibat) kenapa pengkarya cipta memilih judul: “TENGKU DAN LAUT” Diolah rasa imaji pikirku selaku penghayat, puisi “TENGKU DAN LAUT” karya penyair Adri Sandra, Padang, bisa saya katakan sebagai salah satu contoh puisi 2, 7 yang memuisi, dimana dengan hanya 2 baris, 7 kata penyair berhasil mengangkat tema besar dan menuangkannya dengan sangat baik melalui symbol-simbol puisi pada medium tuang yang boleh dikata teramat padat. Jujur saya pun mesti belajar dari puisi ini untuk menghasilkan karya puisi 2, 7 yang baik ke depannya. 3) TOPENG Aroma nafasmu bertebaran Koloni semut mengungkap rahasia (Qomaruddin Assa'adah, 22-01-13) Judul "TOPENG" sangat baik sebagai pemandu awal untuk penikmat baca memasuki ruang-ruang renung yang ada di dalam batang tubuh puisi secar keseluruhan. Secara makna KBBI, topeng n 1 penutup muka (dari kayu, kertas, dsb) yang menyerupai muka orang, binatang, dsb; 2 (ki) kepura-puraan untuk menutupi maksud sebenarnya; kedok; Di sini citraan suasana kian kuat saat penghayat bertumpu pada judul masuk ke larik 1 >>> "Aroma nafasmu bertebaran" >> di sini kata kunci "nafas" sangat tepat saya rasakan di imji saya, betapa "topeng" yang merupakan sekat penghalang, dengan sifat "nafas"; udara, mampu menerobos dari sela-sela topeng sehingga aromanya bisa di jadikan penanda (dalam konteks tanda kutip). dan baris 2, dengan pilihan kata kunci "koloni" bukan "kroni" yang lebih familiar ditelinga kita, saya rasa merupakan pilihan kata yang memberi ruang luas di imaji rasa pikir penghayat. >>> koloni n 1 daerah penempatan penduduk; 2 (tanah) jajahan; 3 daerah pengasingan tempat penyembuhan orang sakit; 4 (Pol) kelompok orang yang bermukim di daerah baru yang merupakan daerah asing, sering jauh dari tanah air dan tetap mempertahankan ikatan dengan tanah air atau negara asal; 5 (Zool) kawanan binatang yang tinggal di suatu daerah, hidup sangat berdekatan dan saling berhubungan satu dengan yang lain; Betapa tema besar yang mengada pada karya “Topeng” ini berseakan sebagai autokritik akan apa yang kini tengah terjadi dalam carut marut tatanan negeri Indonesia tercinta, dimana perkonsian politik kian meraja, dengan seribu muka bermanis-manis di depan rakyat (Topeng), namun nafas akan mengabarkan pada angin aroma disebalik “topeng” yang ada. Atau bahkan jangan-jangan saat menulis apresiasi makna ini saya juga lagi pakai topeng? Hadew. Gubrak. 4) Monyet Monyet Negriku Tujuh monyet memimpin manusia Puisi terkapar berdarah-darah (Onald Anold, Pamulang, 01 Februari 2013) Secara judul “Monyet Monyet Negriku” saya rasa pengkarya cipta telah tepat memilih judul ini, karena secara kasualitas dengan isi secara keseluruhan batang tubuh puisi, sangat bersenyawa dalam meletupkan pesan yang ingin diangkat kepermukaan. Pemilihan diksi “tujuh monyet memimpin manusia” pada baris 1 mempunya korelasi baik dengan judul “Monyet Monyet Negriku “ sebelum akhirnya meluncur pada baris renung kekinian “Puisi terkapar berdarah-darah“, dimana pada baris awal “tujuh monyet memimpin”, menyeret imaji rasa pikir saya untuk menelusuri apa sih 7 hal yang melekat pada prilaku “monyet”? Monyet selain binatang yang pergerakannya sangat cepat, namun juga cerdas di antara hewan lainnya, Namun monyet juga merupakan binatang yang mudah terpicu rasa gelisah serta khuatir yang berlebihan. 7 dari sekian sifat buruk monyet: suka berkonfrantasi, pintar mencipta dualisme, mahir memutarbalik fakta/keadaan, mudah mencuri simpati namun mudah pula memanfaatkan perhatian tersebut untuk kepentingan melindungi diri sendiri, suka mencari kutu diantara koleganya, jika mereka marah suka merusak keadaan sekelilingnya, suka ribut jika ketenangannya merasa terusik (dalam konteks tanda kutip). Secara overall saya menangkap pesan : jika ingin tatanan negeri baik, maka hendaknya memilih pimpinan dan atau wakil rakyat yang jauh dari sifat buruk “monyet”. Tapi apakah mungkin? Sementara saat ini para penguasa (dalam konteks tanda kutip) berseakan mencari alibi pembenar setiap diingatkan rakyat >>> “Puisi terkapar berdarah-darah” , di mana “Puisi” merupakan bahasa symbol yang mewakili keadaan nyata rakyat/negeri, atau bahakan jerit “nurani” yang terkapar berdarah-darah. Atau bisa jadi sifat monyet itu sudah membudaya di nadi hidup kita kali ya. Hehe. 5) PERAN JUDUL SEBAGAI SALURAN UTAMA DAN KESENYAWAANNYA DENGAN ISI PADA KARYA PUISI 2, 7 BERTAJUK “SEDERHANA” KARYA MJ. SEDERHANA cintaku serupa asbak saat badai bukanlah payung Muhammad J, Cianjur 2013 Sebelum saya masuk dalam apresiasi puisi 2, 7 bertajuk “SEDERHANA” di atas, seperti yang kita tahu, sastra seni puisi selain mempunyai sifat unik kepadatan kata dalam upayanya menyampaikan idea gagasan, puisi juga memiliki tiga unsur mendasar (pokok) pembangun batang tubuh puisi secara utuh, meliputi : diksi (diction), imaji (imagery), gaya bahasa (figurative language). Sebagai salah satu instrument penting dalam puisi, dan agar maksud idea/gagasan penyair bisa tersampaikan dengan baik, dalam pengertian selain diksi nanti dibentur tautkan dengan diksi lainnya bisa menyajikan keindahan bahasa puitik, namun juga bisa memuat pesan besar di dalam tubuh kalimat terangkai, maka perlu sekiranya sebelum menentukan diksi terpilih sebagai saluran bahasa, pengkaryacipta memahami apa itu diksi. Berdasarkan KBBI, diksi n (Ling) pilihan kata yang tepat dan selaras (dalam penggunaannya) untuk mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh efek tertentu (seperti yang diharapkan), dan pada karya puisi, diksi ini sangat penting perannya dalam mengekspresikan ide/gagasan serta perasaan penyairnya. Dalam proses pemilhan diksi sebagai bahasa perlambang untuk menyampaikan idea/gagasan/tema dari apa yang dirasakan oleh pengkarya cipta, disadari atau tidak akan muncul citraan-citraan/gambaran-gambaran/bayangan-bayangan akan sesuatu yang selanjutnya nanti menggerakan pengkaryacipta memungut diksi-diksi yang tepat yang bisa menghidupkan imaji (sesuatu yang dibayangkan dalam pikiran; bayangan; imajinasi). Adapun keluasan ruang imaji akan didapat jikalau pilihan serta tautan antar diksinya memadai untuk menciptakan suatu kekhasan bentuk bahasa baik secara baca/ucap, atau yang lebih kita kenal dengan istilah gaya bahasa (KBBI, gaya bahasa v (Ling) 1 pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis; 2 pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu; 3 keseluruhan ciri-ciri bahasa sekelompok penulis sastra; 4 cara khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan dalam bentuk tulis atau lisan). Berkenaan tentang beragamnya pendapat mengenai apa definisi dari puisi, Shahnon Ahmad (Shanon bin Ahmad, Haji, Datuk) sastrawan Negara serumpun yang LAHIR : 13 Januari 1933 di Banggul Derdap, Sik, Kedah Darul Aman, mengumpulkan definisi puisi yang pada umumnya dikemukakan oleh para penyair romantik Inggris , menyimpulkan bahwa pengertian puisi di atas terdapat garis-garis besar tentang puisi itu sebenarnya. Unsur-unsur itu berupa emosi, imajinasi, pemikiran, ide, nada, irama, kesan pancaindera, susunan kata, kata kiasan, kepadatan, dan perasaan yang bercampur-baur. Kekompleksitasan unsur-unsur puisi seperti yang diterangjelaskan di atas, sebenarnya bisa kita rasakan saat membaca puisi Muhammad J (selanjutnya kita singkat MJ) penulis muda berbakat, sebuah puisi yang terdiri dari 2 baris 7 kata (baca: Puisi 2, 7) bertajuk “SEDERHANA”. SEDERHANA kata MJ melalui judul puisinya, namun merujuk isinya kurang adanya kemenonjolan dari makna kata “SEDERHANA” itu sendiri, selain dari bentuk ungkap pikir aku lirik tentang rasa suasana hatinya atas perasaan cintanya pada sesuatu (bisa secara kebendaan, secara hubungan horizontal, atau hubungan sececara vertical) yang disampaikan secara majasi >>> //cintaku serupa asbak/saat badai bukanlah payung//. Adakah sesuatu yang sederhana di dunia ini? Pertanyaan yang kelihatannya simple namun jawabannya sebenarnya tidak simple; sederhana yang sebenarnya sederhana itu tidaklah sederhana. Berdasarkan KBBI, sederhana adj 1 bersahaja; tidak berlebih-lebihan; 2 sedang (dalam arti pertengahan, tidak tinggi, tidak rendah, dsb); 3 tidak banyak seluk-beluknya (kesulitan dsb); tidak banyak pernik; lugas; wajar; biasa; gampang; simple; mudah; dangkal; naïf; lugu; polos, ect. SEDERHANA cintaku serupa asbak saat badai bukanlah payung Cianjur 2013 Pada puisi suasana hati ini saya menangkap pesan tersurat dari aku lirik dalam menyikapi persoalan cintanya berusaha pasrah, menerima apa adanya yang tengah menimpa segala bentuk persoalan cintanya, saat gelora cinta dari aku lirik tidak lagi mampu untuk melindungi (baca fungsi payung) atau alat diplomasi dalam menjabarkan betapa besar rasa cinta aku lirik tak lagi punya kekuatan untuk meyakinkan hal, yang saya lebih condong kepersoalan cinta secara horizontal, atau cinta kasih dua isan berlainan jenis. Dari pembacaan teks puisi secara tersurat, karya MJ saya katakan sangat baik, dalam arti keselarasan/ kesenyawaan baris 2 dalam meletupkan rasa imaji citraan baris 1 telah memenuhi criteria sebagai puisi, juga makna tersurat keseluruhan batang tubuh dari perlambangan bahasa/bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam kesadaran orang akan pengalaman terasa lebih memuisi. Tapi jika yang dimaksud dari judul “sederhana” setara maksud dengan tidak banyak seluk-beluknya (kesulitan), lugas, wajar, biasa, gampang, simple, mudah. Maka kesenyawaan makna dengan isi batang tubuh puisi, khususnya baris awal yang disampaikan secara majasi bahasa ( bahasa tidak sebenarnya atau sebagai kiasan, metavor, persamaan, dsb) menjadi tidak seimbang ( secara koherensi makna bahasa menjadi lemah) >>> //SEDERHANA/ cintaku serupa asbak// >>> asbak; tempat abu rokok, tapi dalam fungsinya juga tidak melulu abu rokok saja, tapi batang korek api, putung rokok, dsb. Dan biasanya saat membuang sisa rokok yang masih ada bara apinya, ditekan di papan dasar asbak biar mati. (jika dianalogikan menerima derita cinta layaknya asbak, saya rasa itu bukan sesuatu yang sederhana dalam pengertian tidak banyak kesulitan/kesakitan/wajar/biasa atau sesuatu yang mudah). Dari pembacaan di atas inilah baris 1 saya rasa gagal memerankan fungsinya untuk menterjemahkan maksud dari“sederhana” tadi sebagai judul sekaligus sebagai pintu masuk baris awal yang dalam puisi 2, 7 merupakan baris yang menampilkan dirinya sebagai gambaran idea tema. Puisi MJ ini menurut saya memang menarik dan indah dari puitisasi bahasanya, namun ada beberapa hal yang menurut saya lemah, semisal enjambemen dan kekayaan tafsir yang di letupkan baris 2 kurang " Kriuk " atau kurang bisa memberikan keluasan tafsir kontemplasi, dalam arti baris 2 lebih menampakkan kepenerangan tentang keadaan suasana saja, dari pada kontemplasi secara utuh atau sebatas memperkokoh citraan suasana yang dihadirkan pada baris satu >>> "//cintaku serupa asbak/saat badai bukanlah payung//" >>> “saat badai bukanlah payung” walau bisa kita interprestasikan seperti: saat petaka/cobaan/ujian/kedukaan/kepedihan, bukanlah sesuatu yang bisa diharapkan (dalam konteks tanda kutip); saat gelora cinta dari aku lirik tidak lagi mampu untuk melindungi (baca fungsi payung) atau alat diplomasi dalam menjabarkan betapa besar rasa cinta aku lirik tak lagi punya kekuatan untuk meyakinkan hal, namun jika ditinjau secara makna harafiah teks puisi baris ke dua “badai bukanlah payung” jauh dari logika bahasa, Secara teks puisi (baca: fisik puisi) sepenuhnya menjadi hak esklusif pengkaryacipta, namun terlepas dari itu semua saya selaku penghayat beropini daya hisap kontemplasi baris 2 dan citraan latar suasana yang dihadirkan baris satu akan kian lebih meruang jika baris 1 “cintaku serupa asbak” bertukar tempat dengan baris 2 “saat badai bukanlah payung”. SEDERHANA >>> Judul saat badai bukanlah payung >>> latar suasana yang dibentuk kian kuat, dan memberi dorongan untuk memunculkan aura dari “SEDERHANA” sebagai judul cintaku serupa asbak >>> kalau ini baris dua akan kuat daya hisap kontemplasinya untuk memperkokoh citraan latar suasana yang dicitrakan pada baris 1 Estetik lompatan yang ditimbulkan dari perpindahan baris 1 ke baris 2 ( melalui tehnik enjambemen) juga akan kian memberi nilai tambah/meruang di imaji penhayat >>> badai > payung > asbak, tiga kata kunci perlambangan bahasa pitik yang berseakan tidak saling kait fungsi, namun dalam fungsi bahasa sebagai kode dalam puisi yang menjadi satu kesatuan utuh tersirat sangat saling melengkapi. Hal ini seperti yang saya pikirkan tentang hal-hal yang bisa memberi nilai tambah pada penciptaan puisi 2, 7 : • Tipografipoetika/ pemetaan kata/ enjambemen baris1 ke baris 2 yang baik akan menjadikan karya puisi 2, 7 aliran perpindahan antar baris tidak melaju terlalu cepat sehingga karya tidak datar baca (kalau tidak boleh dikatakan datar atau serupa pernyataan, cerita, ungkapan yang biasa saja), Tipografipoetika/ pemetaan kata/ enjambemen yang baik akan member nilai tambah pada keluasan ruang rasa imaji pikir penghayat/penikmat baca. • Keselarasan/ kesenyawaan baris 2 dalam upayanya meletupkan rasa imaji citraan baris • Kunci penting berhasil tidaknya puisi 2, 7 dalam memberikan nilai pikir kekinian di rasa imaji penghayat, adalah seberapa kuat pengkarya cipta memberi denyut/nilai kejut/daya hisap kontemplasi/ rangsangan emosional yang diletupkan baris 2. Puisi bertemakan cinta “SEDERHANA” yang sebenarnya tidaklah sesederhana “cintaku ibarat asbak”, sekali lagi saya katakan secara keseluruhan sebagai puisi baik, hanya antara judul dan isi melalui bahasa majasinya terdapat kurang keseimbangan dalam mesenyawakan kandungan maknanya. 6) SUGEST ALAM BAWAH SADAR DALAM PROSES PENCIPTAAN PUISI Tempe Goreng (Puisi 2, 7) beraroma ketumbar berenang riang di dalam wajan KP-120313 “Puisi adalah terjemahan rasa bagi penyairnya, dalam arti dibuat untuk memenuhi kebutuhan rasa akibat adanya letupan-letupan yang ada di dalam imaji pikir penyair itu sendiri ” (lifespirit) Membaca Puisi 2, 7 Kepompong Pijar bertajuk “TEMPE GORENG” di atas, pertama kali terlintas dipikran saya adalah puisi ini ini bisa jadi memang dibuat secara serius, tapi bisa jadi hanya lintasan sambil lalu muncul "TEMPE GORENG" di imaji pikirnya, yang langsung direspon secara tulis. Namun yang membuatku terkesima, rekatan diksi yang sebenarnya sangat familiar ini, memberi ruang kontemplasi akan suatu prosesi kehidupan yang maha kuat manakala kita mendekati dunia perlambangan (semiotika) puisi KP ini secara pendekatan semantic dan struktur semantik. Sepintas kalau dibaca secara letter teks puisi "TEMPE GORENG" karya Kepompong Pijar berseakan hanya rangkaian kalimat biasa. Sememang bisa jadi puisi ini terlahir dari sebuah pengamatan atau hasil yang mengada di pikirannya tentang "TEMPE GORENG", atau bisa jadi puisi ini lahir dari geliat usil pikiran sekedar menulis puisi 2, 7 dengan obyek "TEMPE GORENG" (baca:asal tulis) karena jenuh, atau iseng dilepas lelah dan atau setara maksud Dari asal iseng tersebut (Anggaplah ini tulisan yang sambil lalu ya), begitu penulis ingin menyajikannya pada sebuah wadak tubuh puisi, aku yakin disini walau tipis ttap ada simpul pikir kreatif penulis yang masih terkait dengan tata cara berpuisi, dari sinilah adakalanya muncul daya alam bawah sadar yang tanpa disadari menyodorkan diksi-diksi, yang setelahnya justru menjadikan suatu hal tak terduga, dalam arti ternyata diksi-diksi yang keluar dari alam bawah sadar tadi menawarkan suatu perlambangan dan atau suatu rangkaian kata secara semantik dan struktural semantik yang bisa menghadirkan daya hisap kontemplasi di rasa imaji baca penghayat. Makanya setiap saya mencoba mengakrapi pesan sebuah puisi, saya bebaskan segala pikiran apakah puisi itu dibuat secara serius atau iseng, atau apakah puisi itu dibuat oleh penulis kesohor atau bukan, apakah yang menulis itu sahabatku atau bukan, pokoknya saya hanya berupaya melebur dengan teks puisinya saja, dan seberapa bisa menangkap simbolik puitiknya. Dari pemikiran tersebut saya mendapati pemaknaan yang menurut olah rasa pikir saya sangat luar biasa ruang renung yang dihadirkan oleh puisi KP “TEMPE GORENG” ini. Apa itu "Tempe"? tempe suatu makanan yang terbuat dari kedelai yang dalam proses pembuatannya selain dicuci, diinjak, selanjutnya diberi ragi dan dibungkus dalam proses pematangan. Suatu Ritus pematangan menjalani dunia kehidupan, andai "Tempe" ini sebagai simbolik dari aku lirik "TEMPE GORENG". Dan pada baris 1 >> "Beraroma ketumbar", pemilihan diksi "ketumbar" pada puisi "TEMPE GORENG" ini sangatlah tepat (Walau sekali lagi mungkin penulisnya juga saat itu tidak sadar kenapa mesti ada diksi "ketumbar", tapi inilah yang saya katakan tadi adanya daya alam bawah sadar pada suatu proses cipta puisi). "tumbar" secara filosofi mempunyai arti "keseimbangan", dan dengan adanya aroma "ketumbar" sebagai suatu filosofi keseimbangan hidup pada puisi TEMPE GORENE ini, aku lirik pun yang masuk dalam simbol "TEMPE GORENG" ini akan dengan riang ria, penuh rasa tawakal dan ikhlas menapaki jalan cahaya takdirnya >>> "berenang riang di dalam wajan" >>> Wajan; perlambang tempat menjalani prosesi kehidupan yang penuh ragam ujian. Setelah saya menyelami dunia perlambangan yang dihadirkan puisi 2, 7 Kepompong Pijar, Saya tertarik dengan pendapat Robert Penn Warren (April 24, 1905 – September 15, 1989) penyair, novelis dan kritikus Amerika yang berpendapat : “Puisi atau sajak itu sebuah mitos kecil tentang kemampuan manusia agar menjadikan hidupnya bermakna. Puisi, pada akhirnya, bukan sesuatu yang kita lihat. Lebih tepat, puisi merupakan cahaya yang membuat kita melihat sesuatu lebih jelas dan sesuatu itu adalah hidup.” Dari pendapat Robert Penn Warren di atas, saya mengumpamakan “cahaya” pada keseluruhan ruang tubuh puisi adalah “bahasa”, bahasa yang merupakan pemandu alam pikir pembaca untuk berkomunikasi dan atau menggali makna puisi/sajak, bahasa yang bisa berupa susunan kosakata atau kalimat-kalimat, symbol-simbol, lambang-lambang, yang merupakan bagian dari artefak bahasa ( benda-benda atau symbol-simbol bahasa yang menunjukan kecakapan manusia melalui penggalian-penggalian pikir ). Dan berdasarkan KBBI, “gelap” sama artinya dengan tidak ada cahaya; kelam; tidak terang alias samar. Sedangkan puisi atau sajak mempunyai “cahaya” yaitu “bahasa”, dan puisi atau sajak untuk berkomunikasi dengan pembacanya melalui media bahasa yang saya umpamakan sebagai cahaya tersebut untuk mengurai suatu makna yang tersembunyi pada puisi. Perihal samar atau terang benderang makna yang berhasil di telisik, bergantung sepenuhnya dari masing masing pembaca, seberapa kuat olah rasa, olah pikir, dan olah imaji dalam menangkap cahaya puisi ( baca : bahasa puisi ), yakni puisi yang menjelmakan dirinya pada bahasa sunyi, puisi yang mensamsarakan dirinya pada kesakitan-kesakitan bahasa melalui benda-benda atau symbol-simbol bahasa dalam rangka menemukan pemaknaannya sendiri di ruang pikir masing-masing individu dalam mencari kecerahan makna baru yang diyakininya. Namun begitu bukan lalu serta merta membuat puisi seenaknya saja, dalam arti asal rekat kata tanpa memahami makna serta sifat yang melekat pada setiap diksi, baik secara makna yang berdiri sendiri pun makna yang ditimbulkan oleh adanya pertautan/perbenturan antar diksi dalam satu rekatan bahasa yang koheren/seimbang. (lifespirit, 12 Maret 2013 pukul 23:11). 7) MEMBACA RUH TRANSENDENTAL PADA PUISI 2, 7 “PENA” KARYA DENY L.F PENA Lumpuh tanpa tinta, mati syurga atau neraka! April 2013 Deny L.F “Perbedaan bentuk dan isi hanya terletak pada diri penghayat. Bentuk hanya cukup dihayati secara indrawi tapi isi atau arti dihayati dengan mata batin seorang penghayat secara kontemplasi” (Dharsono/Sony Kartika) Ketidak masuk akalan kata-kata (Absurditas teks) tersusun/tertuang pada sebuah puisi, seringkali menjadikan citraan yang ingin dibangun pengkarya cipta meninggalkan beragam asumsi pada penikmat baca/penghayat (kalau tidak boleh dikatakan menimbulkan suatu penolakan visualisasi dari citraan yang ditimbulkan oleh teks puisi dimaksud). Sementara Absurditas teks ini disukai atau tidak disukai akan sering kita jumpai pada sastra seni berpuisi, hal ini dikarenakan sifat kepadatan kata pada karya seni puisi, sedangkan pesan yang ingin disiratkan pada penghayat/penikmat baca demikian besar, dalam arti melebihi dari apa yang tersurat secara letter teks. Karena dua beban yang melekat pada tubuh puisi itulah, pengkarya cipta sering dihadapkan pada tuntutan penempatan diksi terpilih sebagai diksi yang menerjemahkan dirinya sendiri secara harafiah makna atau berperan sebagai diksi yang mengaktualisasikan dirinya sebagai bahasa semiotik (bahasa lambang), syukur-syukur kalau dalam pertautannya dengan diksi yang lainnya bisa mencakup keduanya (secara harafiah dan secara perlambangan). Seperti kita tahu, diksi/kata merupakan bagian terpenting dari bahasa, dan bahasa merupakan suatu instrument penting yang melekat pada puisi. Dan bahasa sebagai salah satu sarana komunikasi seni, baik secara langsung maupun tidak langsung,begitu sangat dinamis. Dengan “bahasa” kita bisa mencari kedekatan secara emosional kepribadian masing-masing individu, yang dapat dikatakan mempunyai karakteristik dalam berbahasa yang cukup beragam. Dengan bahasa, setiap individu bisa saling berinteraksi dalam menangkap debar-debar emosi/rasa yang tak berujud yang ingin disampaikan padanya oleh individu lainnya. Dengan bahasa dan atau melalui symbol-symbol bahasa, kita bisa menyampaikan pemikiran/opini dengan harapan tercipta imaji-imaji baru yang bisa mempengaruhi pola pikir penerima pesan bahasa tersebut. Disinilah peran sastra seni puisi yang selain mempunyai sifat unik kepadatan kata dalam upayanya menyampaikan idea gagasan, puisi juga memiliki tiga unsur mendasar (pokok) pembangun batang tubuh puisi secara utuh, meliputi : diksi (diction), imaji (imagery), gaya bahasa (figurative language). Dari ketiga unsur mendasar ini (diksi, imaji, gaya bahasa) merupakan suatu hal yang sangat fundamental dalam membangun batang tubuh puisi (khususnya puisi pendek/bahkan teramat sangat pendek) yang dalam fungsinya sebagai penghantar pesan ke penikmat baca. Dan di puisi jenis pendek/teramat sangat pendek inilah pengkarya cipta sering dihadapkan pada kesulitan-kesulitan (baca: kerumitan) dalam melekatkan/memilih dan atau membentur tautkan diksi yang bisa memberikan efek letupan di rasa imaji pikir penghayat. (Dikutip dari esai lifespirit: ANTARA ABSURDITAS TEKS DAN SIMBOLIK PUITIKA PADA PUISI “MALAM LEBARAN” SITOR SITUMORANG). Atas dasar pemikiran tersebut di atas, dimana karya puisi senantiasa dihadapkan pada hal kegelapan, ambiguitas, atau bahasa kias/bahasa perlambangan sebuah karya sastra puisi. Maka saya akan mencari manfaat tafsir dari puisi 2, 7 bertajuk “PENA” karya Deny L.F melalui dua pendekatan bacaan secara tersurat teks karya, dan secara tersirat. Secara tersurat puisi di atas, judul “PENA” sebagai sarana luncur masuk ke baris pertama; pena/pensil akan tidak berfungsi sebagai mana mestinya jika tiada/tanpa tinta, macet/mampet/buntu (mati) >>> Lumpuh tanpa tinta, mati Sedangkan baris dua pada puisi ini, merupakan alur lompat yang secara lontaran sarat muatan moral value; iakah itu suatu keberuntungan atau kesialan! >>> syurga atau neraka! Secara garis besar saya tulis lengkap arti tersurat teks seperti ini : “pena/pensil akan tidak berfungsi sebagai mana mestinya jika tiada/tanpa tinta, macet/mampet/buntu (mati), maka hal yang seperti itu iakah merupakan suatu keberuntungan atau kesialan!” Karena ini sebuah karya puisi, pastinya ada pesan yang lebih dalam lagi yang ingin disampaikan pengkarya cipta melebihi dari apa yang telah disuratkan secara teks puisi. Adapun pendekatan secara tafsir tersurat teks, agar kita lebih mudah lagi untuk menelisik pecahan-pecahan kata yang telah kita uraikan secara permukaan bahasa, dan selanjutnya dengan instuisi dan batin kita melebur lebih ke dalam lagi pada dunia perlambangan/kias bahasa puisi secara berkontemplasi untuk memetik tafsir tersirat di pada batang tubuh puisi secara utuh. Dan pada tahapan ini unsure semantic, structural semantic, semiotika, enjambemen/typografipoetika, morse poetika, bahkan simbolik tanda baca tidak bisa diabaikan begitu saja. Kembali pada puisi 2, 7 bertajuk “PENA” karya Deny L.F, secara tersirat puisi ini berhasil menciptakan ruang ambiguitas yang baik, dalam pengertian, melalui analisa secara semantic dan structural semantic, puisi ini menawarkan interprestasi secara social humanis dan juga bisa menciptakan suatu iterprestasi relegiuitas/kerohanian/sufistik. Kita mulai dari judul “Pena", secara makna semantic ; pensil yang diisi dengan tinta, dari semantic ke semiotika, “pena” di sini sebagai aku lirik yang meliputi segenap in•dra n alat untuk merasa, mencium bau, mendengar, melihat, meraba, dan merasakan sesuatu secara naluri (intuitif), dan “tinta” secara harafiah makna merupakan sebuah isi, secara semiotic “tinta” bisa jadi sebagai simbolik inspirasi; ilham n 1 petunjuk Tuhan yang timbul di hati; 2 pikiran (angan-angan) yang timbul dari hati; bisikan hati; 3 sesuatu yang menggerakkan hati untuk mencipta (mengarang syair, lagu, dsb), atau bisa juga sebagai kias dari otak; benda putih yang lunak terdapat di dalam rongga tengkorak yang menjadi pusat saraf; otak manusia yang bertanggung jawab terhadap pengaturan seluruh badan dan pemikiran manusia. Oleh karena itu terdapat kaitan erat antara otak dan pemikiran. Otak dan sel saraf di dalamnya dipercayai dapat memengaruhi kognisi n 1 kegiatan atau proses memperoleh pengetahuan (termasuk kesadaran, perasaan, dsb) atau usaha mengenali sesuatu melalui pengalaman sendiri; 2 (Sos) proses, pengenalan, dan penafsiran lingkungan oleh seseorang; 3 hasil pemerolehan pengetahuan manusia. Otak juga memengaruhi perkembangan psikologi kognitif. Otak juga bertanggung jawab atas fungsi seperti pengenalan, emosi. ingatan, pembelajaran motorik dan segala bentuk pembelajaran lainnya. Mencermati judul “PENA”, di sini saya mendapati fungsi penguat pilihan diksi “Lumpuh” pada awal kalimat baris satu sebagai upaya penguat citraan latar suasana yang ditimbulkan oleh pengaruh grafitasi bahasa ( efek terjadinya tarik menarik bahasa dalam upayanya menciptakan citraan makna yang ditimbulkan oleh kemungkinan saling mengisi satu atau lebih bahasa tadi, baik secara kias yang ditimbulkan karenanya, atau secara tautan arti dari kata ). Lumpuh adj 1 lemah dan tidak bertenaga atau tidak dapat bergerak lagi (tentang anggota badan, terutama kaki); 2 (ki) tidak berjalan (berlangsung) sebagaimana mestinya. Dari dua pengertian secara semantik “lumpuh” pada puisi di atas saat dibentur tautkan dengan “PENA”, imaji baca penghayat akan digerakan pada bahasa personifikasi, tapi pada pembacaan makna semantic ke dua akan dihadapkan pada bahasa sebenarnya sebagai fungsi pena dan tinta sepenuhnya >>> //PENA/ tidak berjalan (berlangsung) sebagaimana mestinya tanpa tinta…// Namun, jika kita cermati atas pembacaan kata “mati” yang ditaruh setelah simbolik tanda baca (,) pada baris pertama, maka peran kata “lumpuh” tadi lebih condong fungsi sebagai bahasa kias/perlambang (semiotika), ini dikarenakan kata “mati” lebih tepat untuk sesuatu hal yang tadinya hidup/bernyawa. Sedangkan “PENA” adalah benda mati, yang tentunya akan lebih cocok pilihan katanya yang dipakai adalah “macet/mampet/buntu, konsekwensinya akan menjauhkan kesenyawaan dengan pilihan kata “syurga atau neraka” yang dipilih pengkarya cipta sebagai letupan akhir yang menimbulkan daya hisap kontemplasi yang kuat baris dua (baris ledakan). Dari pembacaan tadi saya rasa pilihan kata “mati” apalagi diletakkan tunggal pada akhir baris sebelum jeda (,) sangat tepat untuk masuk ke bahasa semantic maupun bahasa semiotika dari rangkaian kata “syurga atau neraka” pada baris dua. Mati ditaruh mengambang akibat pengaruh enjambemen bisa menggerakan moral value imajinatip, dalam arti mati harapan, mati semangat, mati gairah, mati nurani, mati rasa ect. Dengan pilihan-pilihan diksi seperti itu, puisi 2, 7 bertajuk “PENA” ini secara tersirat akan memberi ruang ambiguitas yang baik, dimana jika kita tarik nilai social humanisnya , berseakan menyiratkan aku lirik tiada lagi gairah untuk menulis, kita persempit semisal puisi, apakah ini justru membawa hal yang baik bagi dirinya atau justru akan menjadi kebalikannya bagi aku lirik yg tahu kebutuhan menulis. Apalagi secara implicit penulis kebetulan lagi gandrung dengan dunia sastra puisi/sajak/syair. Dan jika kita pernah dengar, bahwa menulis puisi atau syair sangat dekat dengan syurga dan neraka (membawa kemahslahatan atau justru membawa keburukan bagi penulis dan pembacanya). Dalam bahasa perlambangan secara utuh puisi d atas, “PENA” dan “tinta” jika kita tarik ke dunia kerohanian/transcendental/sufistik menyiratkan pesan renung (kontemplasi) yang demikian dalam, di mana Pena di sini saya analogikan sebagai otak atau semiotika, “pena” di sini sebagai aku lirik yang meliputi segenap in•dra n alat untuk merasa, mencium bau, mendengar, melihat, meraba, dan merasakan sesuatu secara naluri (intuitif), dan “tinta” secara harafiah makna merupakan sebuah isi, secara semiotic “tinta” bisa jadi sebagai simbolik inspirasi; ilham n 1 petunjuk Tuhan yang timbul di hati; 2 pikiran (angan-angan) yang timbul dari hati; bisikan hati; 3 sesuatu yang menggerakkan hati untuk mencipta kebaikan/keburukan, dimana pada akhirnya akan dipertanggung jawabkan kelak di alam akhirat; syurga atau neraka. Puisi 2, 7 bertajuk “PENA” karya Deny L.F secara makna tersirat kerohanian/transcendental/sufistik tidak jauh dengan pesan yang disiratkan penyair sufi JALALUDDIN RUMI, pada puisi transcendental bertajuk “PENGETAHUAN LANGSUNG” yang saya kutip lengkap di bawah ini: PENGETAHUAN LANGSUNG Mari, ketahuilah bahwa indra dan imajinasi serta pengertianmu bagaikan batang bambu yang ditunggangi anak-anak. Pengetahuan spiritual manusia membumbungkannya ke atas; pengetahuan indrawi manusia adalah sebuah beban. Tuhan telah berfirman, ‘Seperti keledai yang membawa kitab-kitab: betapa berat pengetahuan yang tak diilhami oleh-Nya; Namun apabila engkau membawanya bukan untuk kepentingan diri sendiri, maka beban itu akan terangkat dan kau akan merasa bahagia. Bagaimana engkau bisa bebas tanpa anggur-Nya, wahai engkau yang puas dengan tanda-Nya? Apa yang lahir dari sifat dan nama? Khayalan; namun khayalan hanya menunjukkan jalan menuju kebenaran. (JALALUDDIN RUMI, Reynold A. Nicholson, Penerbit Pustaka Firdaus “Ajaran dan Pengalaman Sufi ; LVI – 73) Walaupun puisi 2, 7 “PENA” secara pesan tersirat pun tersurat sangat baik dan kuat memberikan daya hisap kontempelasi, namun secara estetik puitika terjegal pada pemakaian simbolik tanda baca (!) dan penulisan huruf capital di awal baris yag tidak konstan. syurga atau neraka! >>> peletakan simbolik tanda (!) yang menurut saya tidak patut, sebab secara pembacaan struktur bahasa “syurga atau neraka” lebih memberikan efek “Tanya”, jika ingin memberi penekanan tegas, lebih baik kombinasi tanda baca (?!). Selain itu, penulisan huruf “s” pada awal baris dua kata “syurga” tidaklah tepat, tersebab tidak memberi pengaruh apa-apa. (lifespirit 11 April 2013) V. PENUTUP Dengan mengucapkan Bismillah, semoga konsep kreatip puisi 2,7 ini nantinya dapat memberikan manfaat walau hanya serupa titik di dunia literasi. Amin. Salam lifespirit! Tentang Penulis: Imron Tohari, penyuka sastra khususnya menulis dan menikmati puisi dengan nama pena “lifespirit” Kelahiran Malang Jawa Timur - Indonesia, yang sekarang tinggal menetap di Mataram Lombok NTB - Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar